Dik, 2

“dik, percayakah kau pada konsep jodoh
layaknya tulang rusuk yang hilang?”

dua, tiga sendok teh gula pasir lebur di kopiku. luruh pekat hitamnya kau aduk dengan susu hingga menjadi secangkir dirimu. dentingnya tidak lebih keras dari pikiranmu.

“dan bahwa kita terlahir
dan akan terus hidup sebagai kurang
sampai akhirnya dipertemukan,
begitu mas?”

ah, kerling matamu itu. juga kegemaranmu mengawinkan pertanyaan dengan pertanyaan baru. setelahnya aku akan berpendapat, yang barang pasti kau tidak serta merta sepakat, “lantas apa mereka yang memutuskan untuk bujang hingga hari tua itu selamanya kau bilang tak jangkap?” kemudian seperti yang sudah-sudah kita berakhir berdebat. kau perempuan dengan dua puluh ribu katanya per hari dan setiap inci dariku ialah telinga yang tidak akan letih.

tapi, dik, hari ini, aku tidak sedang ingin melihatmu kalah. selain itu aku belum pula menyusun sanggahan yang tepat, sebab dirimu sudah telanjur dalam rengkuhan lalu semenjaknya tidak lagi aku mengenal rasa kekurangan. aku mau merayakan cantikmu bahkan dari pantulan kopi susu dengan sedikit ampas di permukaan.

misalkan, kau lengkapi namaku di celah bibir yang banyak bicara,
aku mengisimu di antara ceruk leher dan tulang selangka.

photo by tabitha turner on unsplash.

AHJSHSHHSHSHS maloeee. met lebaran, semua.

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.