Hijau Miskin

di bulan ketiga aku telah hafal pada sisi manakah dari tembok kamar kosku yang bergeronjal.


kosanku letaknya di sebuah tanjakan gang sempit. di siang hari bisa kudengar para bocil bicara soal vaksin atau mbak-mbak tetangga kosan menyanyi Beautiful in White-nya Westlife berulang kali. bila malam tiba, motor yang lewat harus dalam keadaan mesin mati. terkadang suara rengek bayi di rumah seberang sampai pula ke telinga.

enam ratus ribu sudah termasuk akses Wi-Fi yang ping internetnya cuman dua. gentengnya bocor di titik-titik yang berpindah tiap hujan deras. aku sebatas misuh-misuh saja. tak ada komplain—sebagaimana mestinya—dengan berdalih orang yang nriman. toh, kekurangannya bisa disiasati dengan beli paketan dan sedia kain gombal atau ember buat menampung rembesan air hujan. satu saja perkara yang tak bisa kupecahkan: cat hijau miskin pada temboknya. hijau tua di bagian atas, hijau muda di bagian bawah.

di bulan ketiga, aku telah hafal pada sisi manakah dari tembok kamar kosku yang bergeronjal. dipikir-pikir, mereka mirip gugusan pulau di sebentang atlas raksasa. yang berseberangan dengan kasur itu mirip pulau Sumatra. yang berada di samping nampak seperti pulau Kalimantan kalau nyambung dengan kepulauan Jepang. ada lubang yang tak dapat teridentifikasi di balik lemari pakaian. kutebak bentuknya macam Britania Raya. atau kalau memang lebih besar, Amerika Selatan.

kadang-kadang dalam upaya untuk tertidur, mengamati relief itu bikin aku ingat tembok di rumah. dahulu, bolongannya lebih banyak dan dalam. pada usia ketujuh kusangka itu sebab rumahku pernah kemalingan dan lubang-lubang tersebut merupakan akibat dari baku tembak antara polisi dengan pelakunya. beranjak dewasa, kusadari bahwa rupanya ya memang begitulah tembok bangunan kompleks perumahan. entah campuran adonan semen atau adukannya saja yang payah. catatan bila kelak kepingin membangun rumah atau nyicil KPR sebelum umur dua puluh lima.

sudah lama aku sambat dan gembar-gembor soal niatku untuk pindah kosan. itulah mengapa sejak pertama kali tinggal Februari lalu, koperku masih di sudut kamar yang sama, tidak terbongkar. kubiarkan lemari pakaian kosong dan berdebu, supaya mudah bila hendak kabur sewaktu-waktu lantaran tidak lagi kerasan.

rupanya, hingga tulisan ini diketik pun, itikad untuk mencari kamar sewaan lain belum kelihatan pula hilalnya. bisa jadi aku cuman pemalas yang doyan prokrastinasi. bisa jadi aku tak betul-betul ingin pergi. bisa jadi aku punya kecenderungan beracun untuk tetap bertahan dalam status quo yang menghancurkan pribadi, alih-alih segera mengambil keputusan dan mulai dari awal lagi.

tapi bukankah selalu ada suntikan doktrin sanguinis untuk tiap problematika hidup yang penuh derita dan tidak adil? satu ungkapan pelipur hatiku selama menempati kosan hijau miskin: always look on the bright side. bukan berarti mesti kupentelengi tembokku yang warnanya macam Stabilo hijau di buku LKS Intan Pariwara itu.

kalau kuseret waktu ke zaman masih maba, kosku yang dulu pemiliknya judes dan skeptis. kemungkinan besar sebab aku pulang tengah malam terus sementara bayar kosnya telat melulu. syukurlah, aku tak perlu mengkhawatirkan itu di sini. induk semangnya ialah perempuan sepuh yang telah menimang cucu, barangkali sebaya dengan Omaku. dua kali sudah aku terima nasi kotak dan jajan berkat acara pengajian dari beliau. dipercayakannya pula kunci depan rumah kepadaku sebagai satu-satunya penghuni kamar indekos. aku bebas keluar masuk pukul tiga pagi sekalipun. sebuah kemewahan bila di rumah kau disuruh tidur sebelum pukul sepuluh.

kupandangi langit-langit loteng berwarna putih. sekosong lambungku juga rekening. “bagaimana bila seluruh kamar kosku warna putih?” kurasakan tembok hijau rontok sedikit demi sedikit. kubayangkan diriku tahanan isolasi. isian kepalaku berdenging sebelum pecah berkeping. “lebih baik aku mati.” lebih baik aku mati di kos hijau miskin ketimbang rusak jiwaku dikoyak ruangan serba putih.

mau bagaimanapun tembok hijau dianggap rendahan, keempat dinding inilah yang pada akhirnya menyusun sarang tempatku tinggal. aku memang muak dengan tetek-bengek payah di dalamnya. barisan semut yang kerap menemukan jalan kembali meski sudah kusapu keluar. bunyi rayap menjatuhkan serbuk halus kayu di bawah meja. gundukan cucian kotor yang belum kubawa ke penatu. bunga mawar putih di botol air mineral lima ribuan yang mengering dan layu. rontokan rambut panjang di ubin yang entah punyaku atau punya penghuni tak berbentuk.

aku paling diriku di kamar kosan hijau miskin. aku menerimanya seburuk apapun. dinding lapuknya memahamiku dalam wujud paling bapuk. menyaksikan waktu rehatku dirampok dan kepalaku dipenggal oleh tanganku sendiri. meninggalkan jejak merah di putih mata yang sekuat tenaga menolak berkedip. disembunyikannya riwayatku di balik pintu keropos yang berderit, di bawah kaki lemari, dalam kantong plastik bekas laundry. aku misuh dan salat Subuh di tempat yang sama persis. di lantainya kutanggalkan pakaian-pakaian, tuntutan-tuntutan, ekspektasi-ekspektasi. menahan ledakan pertanyaan seputar krisis eksistensi yang kony(t)ol dan provokatif. layaknya “mengapa cuman laki-laki yang boleh nampak pentil?” atau “apa betul keberadaanku di dunia cuman sebatas investasi?”.

menjadi tembok berarti tak kau miliki kewajiban berempati atau dorongan basa-basi. maka sebaik-baiknya jawaban ialah sunyi. hijau miskin tembok kosku mentereng mengawasi. telanjang dada dan bersimbah tangis tidak sedikit pun aku terhakimi.

Photo by the blowup on Unsplash

ocehan orgil tidak tidur 24 jam.

One thought on “Hijau Miskin

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.